Feri Firmansyah
Ditulis oleh: Ricky N. Sastramihardja
Tidak semua pertandingan Persib Bandung bisa saya ingat. Tetapi pengalaman pertama kali menonton Persib Bandung adalah hal yang tidak bisa dilupakan. Saat itu saya masih sekitar kelas 4 atau 5 sd lah. Jadi sekitar tahun 1984-1985-an. Saat itu lagi berlibur ke rumah kakek dan nenek di Kawali, Ciamis. Pun tahu mengenai akan ada kunjungan Persib Bandung adalah dari berita tetangga, juga dari ‘barker’, mobil pakai ‘halow-halow’ (baca: pengeras suara) yang berkeliling kampung, mengumumkan bahwa di lapangan alun-alun Kawali akan ada pertandingan persahabatan antara Persib Bandung Selection melawan PSGC (Persatuan Sepakbola Galuh Ciamis).
Saya tidak ingat berapa skor akhir saat itu, hanya bisa mengingat bila harga karcisnya 300 rupiah (sebagai ilustrasi, 300 rupiah masa itu cukup untuk membeli sekotak Susu Ultra besar dan sebatang coklat cap Ayam Jago), dipakai masuk 3 orang (saya, adik saya, dan teman saya Asep Pa Iding). Selain itu, stadionnya pun sangat sederhana, hanyalah lapangan alun-alun kecamatan yang disulap menjadi stadion dadakan dan dikulibeng (apa atuh dikulibeng teh ya?) sekelilingnya dengan karung, bilik, atau kain biar penonton yang tidak punya karcis tidak bisa ‘moncor’.
Saat itu para pemain Persib yang terkenal adalah Adeng Hudaya, Robby Darwis, Adjat Sudrajat, dan Sobur. Sisanya saya tidak tahu, tapi kalau tidak salah di era Adjat Sudrajat ini Persib menjadi juara Perserikatan. Saat menjadi juara Perserikatan ini ada konvoy keliling kota Bandung. Waktu SD, saya sekolah di Banjarsari, Jalan Merdeka Bandung. Jadi kita menonton arak-arakan di depan sekolah, naik ke jembatan penyebrangan Gudang Garam (sekarang sudah tidak ada).
Sewaktu SMP dan SMA saya mulai berani nonton ke Stadon Siliwangi. Apalagi SMA.
Walau lebih sering ‘nonton siaran pandangan mata’ di RRI Bandung. Saat kuliah pun
beberapa kali saya nonton ke Stadion Siliwangi. Terkadang menonton bareng dengan sahabat saya semenjak SMA, Ucup Mpep. Kita biasa menonton di Timur. Atau saat awal-awal Liga Indonesia (dulu Liga Bank Mandiri), saya tuturubun dari Jatinangor bersama Krisna Sastra Inggris ke Stadion Siliwangi, dan menonton di Selatan.
Walau lebih sering ‘nonton siaran pandangan mata’ di RRI Bandung. Saat kuliah pun
beberapa kali saya nonton ke Stadion Siliwangi. Terkadang menonton bareng dengan sahabat saya semenjak SMA, Ucup Mpep. Kita biasa menonton di Timur. Atau saat awal-awal Liga Indonesia (dulu Liga Bank Mandiri), saya tuturubun dari Jatinangor bersama Krisna Sastra Inggris ke Stadion Siliwangi, dan menonton di Selatan.
Ada pengalaman menarik dengan si Krisna ini. Saat itu kita sedang mengikuti rapat kerja Senat Mahasiswa Fak. Sastra Unpad di Cileunyi, di rumahnya Yufik. Tetapi setelah shalat ashar, si Krisna ini dengan berbisik mengajak saya untuk ‘kabur’ dari rapat. “Hayu ka Bandung, urang ka Siliwangi lalajo Persib”, demikian katanya. Tanpa berfikir panjang, saya menyetujui ajakan si Krisna. Lalu dengan alasan yang dikarang sendiri, akhirnya kita berdua menyelinap dan kabur dari raker menuju Stadion Siliwangi. Bisa dibayangkan, lumayan lama dari Cileunyi ke Stadion Siliwangi di Kota Bandung. Turun dari Cileunyi pakai ojeg, disambung bis kota Damri ke Kebon Kelapa. dari Kebon Kalapa naik 02 ke Siliwangi. Pergi jam 15.00 an, sampai stadion jam 18.00. Dapat tiket dengan harga calo, dan dengan sedikit ‘speak bombay’, Si Krisna bisa dapat tiket dengan harga murah.
Menonton Persib ke stadion dengan Krisna adalah pengalaman terakhir. Semenjak itu saya tidak pernah menonton Persib ke stadion lagi. Saya lebih banyak menonton Persib di televisi, atau mendengarkan siaran pandangan mata, langsung dari RRI Pro 2 FM. Sampai akhirnya pada pertandingan Persib melawan Persiwa Wamena (24032011) dan melawan Persipura (27032011) di Stadion Si Jalak Harupat, saya berkesempatan menonton pertandingan Persib secara langsung. Itupun karena ajakan sahabat saya, Wendy, yang bertugas meliput pertandingan terseb
Jeda sekian tahun tidak ke menonton ke stadion jujur saja, membuat saya terpesona. Apalagi menonton Persib di Stadion Si Jalak Harupat. Stadion yang sedemikian besar dan luas ini harus diakui memang memiliki aura mistis yang mempesona. Sangat jauh dari pengalaman pertama saya menonton Persib di ‘stadion’ kampung di kecamatan Kawali Ciamis, atau stadion Siliwangi.
Banyak hal menarik yang sangat berbeda dengan massa lalu. Sekarang, tampaknya para bobotoh sangat peduli dengan penampilan. Setiap pertandingan Persib, selalu saja stadion berubah warna menjadi lautan biru karena bobotoh Persib hampir seluruhnya mengenakan pakaian berwarna biru. Hal yang dulu tidak saya temukan di Siliwangi. Dulu menonton Persib ya masih pakai seragam SMA atau kaos warna apa saja. Selain itu di setiap sudut stadion berkelamin perempuan pun bisa menonton pertandingan dengan aman tanpa godaan atau sentuhan tangan-tangan durjana. Jaman dulu di Siliwangi? Hanya ada di VIP. Pun anak-anak di bawah 12 tahun (bahkan ada yang sepertinya masih balita) dengan asyik bisa menonton pertandingan tanpa merasa khawatir. Bahkan dua kali ke Si Jalak Harupat, dua kali
pula saya melihat penonton yang terdiri Ayah-Ibu-Anak, kompak mem-bobotohi Persib. Bahkan ada anak yang masih batita, masih digendong ibunya ada di deretan penonton bola yang umumnya orang dewasa.
pula saya melihat penonton yang terdiri Ayah-Ibu-Anak, kompak mem-bobotohi Persib. Bahkan ada anak yang masih batita, masih digendong ibunya ada di deretan penonton bola yang umumnya orang dewasa.
Dengan kata lain, sekarang ini menonton bola tidak hanya menjadi milik kaum laki-laki saja, tetapi milik siapa saja. Tidak ada kekhawatiran rusuh seperti jaman-jamannya Perserikatan dulu atau awal-awal Liga Indonesia digelar. Tentu ini adalah buah prestasi Pengurus Persib, kelompok supporter, juga pihak-pihak yang berkepentingan dengan pertandingan dan eksistensi Persib. Hal menarik lainnya ialah sambutan warga mulai dari Kopo hingga Stadion Si Jalak Harupat. Sebelum dan sesudah pertandingan, sepanjang jalan masyarakat setempat seolah menyambut para bobotoh yang datang dari kota Bandung menuju kota Soreang Kabupaten Bandung.
Pemandangan itu tidak akan dijumpai bila Persib bertanding di Stadion Siliwangi, yang terdapat di tengah kota Bandung. Masyarakat setempat dengan antusias saling bertegur sapa dengan bobotoh, yang sepertinya menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Beberapa kelompok bobotoh yang tidak menggunakan kendaraan pun tampak berjalan menyusuri jalan Cipatik hingga Stadion Si Jalak Harupati, atau sekitar 1 atau 2 jam berjalan kaki. Pemandangan ini juga terjadi setelah pertandingan usai. Pernah saya melihat beberapa bobotoh yang ‘tertular’ menjadi bonek, pulang menyusuri jalan aspal tanpa alas kaki, tanpa baju. Asli, tanpa alas kaki tanpa baju. Seorang teman bilang, mereka adalah kelompok bobotoh yang nge-punk, yang memang terlihat dari gaya rambut juga asesoris lainnya.
Pada perjalanan pulang, ada hal-hal yang membuat saya kagum. Di perempatan Bypass Soetta – Kopo, Soetta-Buahbatu, dan Soetta-Kiaracondong, saya melihat beberapa kelompok kecil supporter menunggu kendaraan umum atau pik ap yang akan membawa mereka pulang ke rumahnya masing-masing entah di mana. Padahal saat itu jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul 01.30 dinihari, dan pertandingan sudah selesai sejak pukul 21.30 WIB.
Perubahan-perubahan positif juga terjadi setelah pertandingan Persib, walau masih tidak konsiten. Tidak ada lagi lampu-lampu jalanan yang dilempari, pot bunga yang dihancurkan, atau kaca-kaca pertokoan yang dilempari bobotoh yang marah kalau Persib bermain jelek dan kalah. Walau masih ada kerusuhan dan bobotoh rese, tetapi secara kuantitatif dan kualitatif sudah tidak seperti jaman dulu lagi. Pokoknya menonton pertandingan Persib sekarang bisa dikatakan seperti menonton bioskop atau teater. Aman, damai, dan menyenangkan, Tidak ada lagi potensi kerusuhan di dalam stadion walau Persib kalah.
Ada juga yang masih tidak berubah. Sepanjang jalan sebelum dan sesudah pertandingan, konsentrasi massa yang sedemikian banyak menimbulkan kekesalan dan keresahan pengguna jalan yang lain. Para bobotoh yang melakukan konvoy sepeda motor, dengan liar menguasai jalanan menuju stadion, terutama setelah Kopo Sayati hingga Stadion Jalak Harupat.
Pengguna jalan lain pun terpaksa menepi sambil menahan kesal. Bahkan sebelum pertandingan dengan Persipura, ada insiden antara bobotoh yang dengan seenaknya memaki pengendara motor yang berlawanan arah. Si pengendara motor yang sepertinya anggota TNI dari arah berlawanan tidak terima dibentak-bentak bobotoh yang dengan ucapan “Nyisi Sia Anjing!”. Si bobotoh lupa, sepanjang Kopo Sayati adalah ‘sayang maung’, di mana di wilayah itu ada pangkalan TNI AU, yang tentu saja tidak terima diperlakukan seperti itu.
Selain itu ada sepertinya ada adagium, bahwa “Siapapun lawan tanding Persib, tetapi plat B tetap musuh yang harus diintimidasi”. Beberapa mobil berplat B (Jakarta) yang mungkin baru pulang berwisata dari Ciwidey dan sekitarnya, harus rela di-anjing goblog-kan oleh bobotoh Persib. Tak jarang mereka (bobotoh) melampiaskan ‘kebobotohan’ mereka dengan memukuli bodi mobil yang sedang sial karena berplat B itu. Kebencian dan permusuhan yang dipelihara antara bobotoh Persib dengan ‘The Jak’ Persija, dilampiaskan ke mobil-mobil plat B. Ini sudah berlangsung sejak dulu, bahkan mungkin sejak jaman kolonial dulu, saat Persib masih bernama Bandoeng Inlandsche Voetball Bond (BIVB) dan Persija masih dikenal sebagai VIJ (Voetbalbond Indonesish Jakarta) di tahun 1930-an.
Banyaknya calo juga masih seperti dulu. Walau sekarang sudah jaman online, tetapi calo masih banyak bertebaran. Padahal, selain online, tiket Persib juga bisa didapat di koordinator supporter sesuai wilayah. Tetapi, praktek percaloan ini masih saja tidak berubah dari waktu ke waktu. Tapi ah, jangankan Persib. Piala Dunia di Afrika tempo hari pun katanya tidak luput dari praktek percaloan ini.
Selain itu, beberapa bobotoh yang nakal juga masih saja menyalakan petasan atau kembang api saat merayakan gol ke gawang lawan. Padahal, kenakalan ini mengakibatkan Persib harus membayar denda pada BLI karena dianggap tidak mampu mengontrol perilaku para supporternya. Atau, masih saja ada bobotoh yang melemparkan botol atau apapun ke dalam lapangan sebagai ekpresi kekecewaan bila timnya kalah atau dicurangi wasit. Kenakalan-kenakalan bobotoh juga seringkali mengakibatkan Persib harus bermain tanpa penonton, atau diusir tidak boleh bermain di kandang dan harus melakukan partai ‘usiran’ di stadion yang
jauh dari kota Bandung.
jauh dari kota Bandung.
Satu yang tidak pernah berubah adalah ekspresi bobotoh terhadap perilaku perangkat pertandingan (wasit, lines man) yang dianggap berat sebelah dan berlaku curang. Betapa kecewanya saat final Persib melawan PSMS dulu di jaman Perserikatan saat Persib ‘dicurangi wasit Djaffar Umar. Kekecewaan itu kemudian mungkin berkembang menjadi ekspresi atau frasa WASIT GOBLOG, yang kerap dilontarkan bobotoh bila Persib kalah akibat keteledoran dan ‘kecurangan’ wasit.
Dari sekilas catatan ini, saya bisa mengira-ngira berapa lama saya sudah menjadi bobotoh Persib, dan itu tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak serta merta karena saya ‘urang’ Bandung lantas saya menjadi bobotoh Persib. Selain karena pengaruh lingkungan, di sini ada andil bapak saya yang mendoktrin saya untuk menjadi pecinta Persib.
Saya ingat saat putaran final Perserikatan (8 Besar), Bapak seringkali pergi menonton pertandingan Persib ke Senayan Jakarta/GBK. Bahkan saat Persib menjuarai Liga Indonesia digelar dan Persib menjadi juara, Bapak nekad ke Jakarta untuk menyaksikan partai final. Walau ternyata niat beliau tidak kesampaian, karena mobil angkot (benar, angkot!) yang ditumpanginya mogok di daerah Purwakarta. Akhirnya Bapak pulang kembali rumah dan tiba di rumah tepat beberapa menit setelah pertandingan final yang disiarkan langsung televisi usai.
Prestasi Persib mungkin jelas naik turun. Saya juga tidak selamanya pergi menonton Persib ke stadion, atau menonton di televisi atau mendengarkan lewat radio atau mengikuti via media lain. Tetapi saya sedang mewariskan semangat cinta Persib pada anak-anak saya, persis seperti saya mewarisi kecintaan itu dari Bapak, kakeknya anak-anak. Apalagi almarhum bapak mertua, kakeknya anak-anak dari pihak istri, konon katanya pernah menjadi pemain Persib di era 60-an. Semangat sportivitas olahraga juga sedapat mungkin ditularkan.
Menang, kalah, seri, adalah hal biasa dalam pertandingan (juga dalam kehidupan). Bila menang silahkan bersorak senang, bila kalah tidak usah morang-maring. Kecuali ya itu tadi, kecuali kalah karena Wasit Goblog.
Biarpun disebut fanatik tidak jelas atau subjektif, saya akan tetap mendukung Persib dan ‘mendidik’ anak-anak untuk menjadi bobotoh Persib. Syukur-syukur bila si Kaka (anak sulung saya) kelak bisa menjadi pemain Persib. Disebut fanatik pun tidak keberatan. Bila saya fanatik dengan Persib, apa bedanya dengan mereka yang fanatik terhadap kesenangan lain? Banyak kok yang tidak suka nonton bola tetapi fanatik dengan kegiatan lain. jadi, apa bedanya? Nyari duit saja banyak kok yang fanatik, lupa diri, hingga lupa halal-haramnya uang yang dicari.
Jadi, tetap jadi bobotoh Persib yang santun, yang 3N. Nyunda, Nyantri, Nyakola. Juga perlu diingat, bobotoh tidak identik dengan ******* (satu klub supporter Persib besar). Tetapi jelas ******** adalah bobotoh. Menang, kalah, atau seri itu biasa untuk Persib. Tetapi wasit goblog memang jangan dibiasakan.
Penulis adalah Visual Mercenary, Videografi, dan Desain Grafis
Blog dan Portfolio: http://rickynsas.blogspot.com